Mengeja Tafsir QS. Al-Fatihah ayat 2 Bersama Al-Razi Terkait dengan Alam
Kajian Tematik Tafsir
Yogyakarta, 22 November 2024 - Ustad Asep Nahrul Musaddad, S. Th.I., M.Ag., dosen Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, menjadi pemateri dalam kajian tematik yang rutin diselenggarakan oleh Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga setiap hari Kamis (22/11). Kajian kali ini mengangkat tema “Berkenalan Kembali dengan Alam Sekitar Kita (Mengeja Tafsir QS. Al-Fatihah ayat 2 bersama Fakhruddin Al-Razi)”. Pada kajian ini, Ustad Asep sengaja memilih tema terkait dengan perkenalan kembali dengan alam karena menurut beliau banyak diantara kita yang masih memiliki pemahaman keliru tentang alam sehingga, hal ini sangat penting untuk dibahas dalam rangka meluruskan pola pikir kita terhadap alam dengan cara pandang yang lebih tepat dan sesuai.
Fakhruddin Al-Razi, penulis dari kitab Mafatihul Ghaib (atau yang akrab disebut dengan Tafsir Ar-Razi), menjadi rujukan utama Ust. Asep sebagai dasar dalam menafsirkan QS. Al-Fatihah ayat 2. Hal ini dikarenakan Fakhruddin Al-Razi bukan hanya seorang mufassir saja, tetapi juga seorang filosof yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga, pendekatan Fakhruddin Al-Razi dalam Tafsir Ar-Razi dianggap sangat relevan dan mendalam untuk bisa mengungkap makna ayat ini secara komprehensif.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Ayat ini memberikan tiga kata kunci penting, yaitu pujian, Tuhan dan alam. Ustad Asep menegaskan bahwa ayat ini sebenarnya sudah mengandung pembahasan terkait dengan tiga konsep dalam falsafah kehidupan: manusia, Tuhan dan alam. Namun, pada kajian tematik kali ini Ust. Asep lebih memfokuskan pembahasan tentang alam.
Menurut Ust. Asep, banyak diantara kita yang gagal memahami alam dengan baik. Hal ini tentunya disebabkan oleh doktrin yang diajarkan sejak kecil bahwa alam itu terbagi menjadi dua yakni alam yang berupa makhluk hidup dan alam yang tidak hidup (benda mati). Pemahaman ini yang kemudian berimplikasi pada keyakinan kita dan menganggap bahwa makhluk hiduplah yang penting, sementara benda mati dianggap tidak penting sehingga berpikiran untuk selalu dibuang begitu saja karena Tuhan menciptakan benda yang tidak hidup hanya untuk orang yang hidup. Misalnya terkait dengan sampah, banyak orang yang menganggap sampah sebagai sebagai benda mati yang tidak berguna dan harus dibuang. Akibatnya, sampah menumpuk dimana-mana, sebagai contoh tempat pembuangan sampah di Piyungan, yang sempat ditutup sementara karena melebihi dari kapasitas yang telah ditentukan. Kemudian, ada juga fenomena yang lebih besar misalnya, penambangan batu bara yang terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sekitar dan kehidupan di masa depan.
Ustad Asep sengaja memaparkan fakta-fakta yang terjadi terlebih dahulu sebelum membaca tafsir Ar-razi, dengan tujuan untuk meluruskan cara pandang kita terhadap alam. Hal ini menjadi penting karena, bisa jadi cara pandang kita yang salah justru berdampak besar terhadap kerusakan alam. Misalnya, terkait dengan sampah batubara, hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang diambil itu batu baranya saja dan setelah tidak terpakai, maka sisa-sisa yang ada berhak untuk dibuang tanpa memperhitungkan dampaknya di masa depan. Asumsi semacam inilah yang kemudian menyebabkan eksploitasi alam. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati sebab, paradigma ini merupakan paradigma yang dibawa oleh modernitas. Sehingga paradigma inilah yang kemudian perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahan untuk kedepannya.
Kitab Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin al-Razi menafsirkan QS. Al-Fatihah ayat 2 dengan paradigma yang berbeda terhadap keyakinan kebanyakan orang saat ini. Kebanyakan orang menganggap bahwa alam ini sebagai sumber daya alam (SDA), dan ketika alam dipandang hanya sebagai “sumber daya” maka, yang terjadi pastilah eksploitasi terhadapnya (alam).
Menurut Ar-Razi, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang disebut alam itu adalah segala sesuatu selain Allah, sehingga semuanya ini adalah alam (manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lain).
Ustad Asep juga menyinggung kajian modern yang menganggap bahwa manusia bukan lagi bagian dari alam. Manusia sering dianggap sebagai entitas budaya, bukan bagian dari entitas alam, padahal menurut pandangan Islam dalam tafsir Ar-Razi, manusia termasuk pada bagian dari alam, bukan makhluk yang terpisah atau lebih tinggi derajatnya.
Lebih lanjut, Ustad Asep memaparkan terkait dengan pembagian alam menurut Ar-Razi yakni mutahayyizan, yang berarti benda fisik yang memiliki ruang dan waktu. Misalnya adalah alam. Kemudian mutahayyizan ini terbagi lagi menjadi dua :
1. Basitoh : Benda fisik dengan entitas tunggal, seperti semesta, langit dan materi induk di planet bumi, yang dianggap sebagai bapak. Sedangkan, ibunya adalah material yang ada di dalam planet bumi seperti tanah, air, udara, api. Menurut modernitas dunia itu merupakan hasil perkawinan antara bapak dan ibu yang kemudian melahirkan murokabat.
2. Murokabat : Tiga anak yang dilahirkan dari ummahat (ibu), yaitu hewan, tumbuh-tumbuhan dan mineral.
Dari penafsiran Ar Razi, kita dapat melihat bahwa alam sebagai keluarga yang terikat. Setiap elemen memiliki peran yang tidak terpisahkan, dan semuanya memiliki hak untuk dihormati.
Selain itu, Ustad asep juga membandingkan kehidupan orang zaman dahulu dengan kehidupan orang-orang modern dalam hal konsumsi dan sampah. Orang modern seringkali memproduksi sampah makanan, padahal sebenarnya tidak ada yang namanya “sampah makanan.” Orang-orang zaman dulu memandang makanan sebagai sesuatu yang mulia karena mereka tau betul bagaimana proses dari awal sampai akhir untuk mendapatkan makanan. Mereka menghargai makanan sama seperti manusia yang berhak untuk dihargai dan dimuliakan, bahkan orang zaman dulu tidak mengenal istilah sampah makanan karena, biasanya makanan sisa akan diberikan kepada ayam atau hewan lainnya. Berbeda dengan orang modern, ketika ada makanan sisa mereka langsung berpikir untuk membuangnya, sehingga menimbulkan istilah “sisa makanan.”
Dari pemaparan yang disampaikan, Ustad Asep berharap agar kita bisa merubah cara pandang kita terhadap alam. Kita harus mulai melihat alam bukan lagi sebagai objek yang harus dieksploitasi, tetapi sebagai subjek yang sejajar dan sepadan sebagaimana ketika kita memperlakukan manusia. Ketika kita mengambil sesuatu dari alam maka, gantilah dengan dengan sesuai sehingga, relasi antara subjek dengan subjek akan sepadan. Beliau juga meminjam doktrin Sunda Wiwitan yang isinya “kalau kamu belum menanam maka, kamu tidak berhak menebang. Kamu boleh menebang jika, kamu menanam sebelumnya atau setelah menebang kamu harus menanam yang lain.” Dari hal ini dapat disimpulakn bahwa alangkah lebih baiknya jika kita bisa menempatkan semuanya dengan selaras karena, semua yang ada di dunia ini adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Editor : Ahmad Muzadi, Zikriani