Perempuan dalam Dimensi Periwayatan Hadis

Berbicara tentang perempuan, maka cukup banyak sisi yang bisa digali. Perempuan diciptakan secara unik dan memiliki sifat yang unik. Keunikan perempuan tidak lepas dari beberapa perpaduan sifat yang melekat pada diri perempuan, seperti lembut namun sensitif, tegar namun mudah menangis, perhatian namun egois, dan lain sebagainya.

Selain itu, perempuan memiliki usia yang cenderung lebih panjang daripada laki-laki, sebagaimana disampaikan oleh Garett A. Davidson. (Davidson, n.d., p. 152) Menariknya, KH. Anwar Zahid yang dikenal melalui ceramah-ceramahnya yang lucu pernah mengatakan bahwasanya jumlah populasi janda lebih banyak daripada duda. Walaupun bahasa yang digunakan seolah bercanda, tetapi memang begitulah kebenarannya.

Aspek usia yang lebih panjang dibanding laki-laki menjadikan perempuan memiliki peran yang cukup besar dalam konteks transfer knowledge. Secara ekplisit, dalam konteks periwayatan hadis, perempuan telah mengambil perannya sendiri. Hadirnya Aisyah dan isteri nabi lainnya menjadi contoh nyata dalam dokumentasi hadis, khususnya yang berkenaan dengan hal-hal privat nabi. Terlebih Aisyah meriwayatkan 2.210 hadis, (Muhsin & Inah, 2014, p. 58) menjadikannya periwayat hadis terbanyak kedua setelah Abu Hurairah. (Fudhaili, 2018, p. 168)

Sistem periwayatan hadis secara umum memang diisi oleh para lelaki. Peran besar perempuan seolah luput dari pandangan para pengkaji hadis. Menurut hemat penulis, hal ini cukup wajar, mengingat perempuan di masa pra-Islam tidak memiliki legitimiasi hukum yang kuat, dan cenderung hanya menempati posisi ke-sekian. Bahkan banyak pengkaji hadis yang melihat ada nuansa diskriminasi terhadap perempuan, atau biasa diistilahkan dengan hadis misoginis.

Namun menariknya, dalam kajian ulumul hadis, tidak ditemukan syarat seorang periwayat harus seorang laki-laki. Hal ini tentu membuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk turut serta dalam pengembangan khazanah keilmuan hadis, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Atas dasar ini juga, ditemukan banyak periwayat periwayat hadis perempuan selain ‘Aisyah.

Jumlah periwayat tersebut cukup banyak, yaitu sekitar 132 orang. Ini hanya periwayat yang ada di dalam kutub al-tis’ah, sehingga memungkinkan adanya penambahan yang cukup banyak. Namun yang cukup terkenal karena meriwayatkan banyak hadis adalah; Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah), Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah, Maimunah binti al-Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abu Sufyan, Ummu ‘Athiyyah, Shafiyyah binti Syaibah, dan Fahitah binti Abi Thalib. (Muhsin & Inah, 2014, p. 71)

Secara lebih terperinci, bisa penulis nyatakan bahwasanya Ummu salamah meriwayatkan 622 hadis, Asma’ meriwayatkan 209 hadis, Zainab meriwayatkan 177 hadis, Maimunah meriwayatkan 172 hadis, Hafshah meriwayatkan 147 hadis, Ummu Habibah meriwayatkan 144 hadis, Ummu ‘Athiyyah meriwayatkan 119 hadis, Shafiyah meriwayatkan 106 hadis, dan fahitah meriwayatkan 87 hadis. Sebuah pencapaian yang luar biasa dalam perkembangan perempuan di masa kenabian.

Hal ini sedikit membuktikan keterbukaan Islam dalam memberikan tempat yang adil bagi perempuan. Dalam menunjang keadilan dan kebutuhan yang sama dengan laki-laki, nabi juga membuka majelis ilmu untuk perempuan. (Danarta, 2007) Selain itu, para sahabat perempuan tidak jarang menemui rasulullah secara langsung untuk mengadukan masalah yang dialaminya. Contohnya sebagaimana yang dialami keluarga Aus ibn Shamit dan Khaulah bint Tsa’labah.

Suatu ketika Aus sedang menemui isterinya dalam keadaan shalat. Dari belakang ia melihat bentuk tubuh isterinya yang bagus, maka kemudian ia mengajak isterinya untuk berhubungan. Akan tetapi Khaulah menolak ajakan suaminya tersebut. Kemudian muncul kalimat “bagiku engkau laksana punggung ibuku”, di mana kalimat ini dalam tradisi Arab sama dengan perkataan talak.

Setelahnya, Aus merasa menyesal sehingga ia mendatangi nabi untuk mendapatkan solusi. Namun jawaban yang keluar dari nabi justeru menjadikan Aus semakin menyesal, karena nabi menghukuminya sebagai talak. Alhasil, isterinya yang kemudian mendatangi nabi. Di sana ia berdoa kepada Allah untuk didatangkan solusi atas permasalahan yang dihadapinya melalui jawaban dari nabinya, sehingga turunlah QS. Al-Mujadilah ayat 1-4.

Cerita ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup erat antara nabi dan para sahabatnya, baik yang laki-laki maupun perempuan. Peradaban di masa lalu tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat muslim secara umum, di mana perempuan hanya berdiam diri di rumah dan hanya bertugas menyiapkan kebutuhan suami. Atau dalam tradisi jawa dikenal dengan istilah masak, macak, manak. Lebih dari itu, perempuan juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan agama.

Islam sejatinya tidak membatasi arah dan gerak perempuan, tetapi Islam mengatur semua aturannya bisa bermanfaat bagi semuanya. Yang menjadi poin penting adalah keselamatan dan keamanan dari perempuan tersebut, sehingga ketika ia keluar rumah, ia harus meminta izin suaminya, ditemani mahramnya, dan lain sebagainya. Dengan perkembangan zaman yang mampu menciptakan sistem keamanan perempuan, maka bisa jadi gerak perempuan akan sama dengan laki-laki di masa mendatang.

Secara kredibilitas, hadis yang diriwayatkan oleh perempuan sama dengan hadis yang diriwayatkan laki-laki. Fakor penentu kesahihan hadis tidak dilihat dari jenis kelamin, tetapi kecakapan diri dan intelektual dalam memahami dan menyampaikan hadis. Selain itu, ditemukan realitas bahwasanya Aisyah bukan hanya sekedar meriwayatkan hadis, tetapi juga menafsirkan hadis.

Ia dianggap sebagai sosok yang begitu dekat dengan nabi, sehingga bisa dibilang mengetahui segala hal yang berkenaan dengan nabi. Atas dasar yang sama, hal ini menolak argumentasi yang menganggap nabi menikahi Aisyah hanya dikarenakan pedofil atau yang lainnya. Tetapi justeru terdapat hikmah besar yang muncul dari pernikahan antara Nabi Muhammad dan Aisyah, khususnya dalam hal transfer knowledge and transmission of hadith.

oleh: Ahmad U.M. Al Anwari

Daftar Pustaka

Danarta, A. (2007). Perempuan Periwayat Hadis dalam al-Kutub Al-Tis’ah. UIN Sunan Kalijaga.

Davidson, G. A. (n.d.). Carrying on the Tradition a Sosial and Intellectual History of Hadith Transmission across a Thousand Years. Brill.

Fudhaili, A. (2018). ’Aisyah Kritikus Hadis Pertama dalam Islam. Jurnal Ilmu Ushuluddin, 5(2).

Muhsin, M. & Inah. (2014). Perempuan dan Periwayatan Hadits (Studi tentang Peran Aisyah dalam Periwayatan Hadits). Jurnal Al-Fatih, 8(1).

Kolom Terpopuler